Lebih Dekat Dengan Meteor Bone Sulawesi Selatan pada Tahun 2009 (The Bone Impactor)
Bone adalah nama satu kabupaten di
propinsi Sulawesi Selatan, yang pada 8 Oktober 2009 lalu menggemparkan
dunia internasional seiring terjadinya ledakan di udara (airblast) yang disebabkan oleh masuknya meteor besar ke dalam atmosfer Bumi.
Demikian besar energi ledakan ini sehingga 11 stasiun mikrobarometer dan infrasonik dalam jejaring IMS (International Monitoring System) di bawah koordinasi CTBTO (Comprehensive Test Ban Treaty Organization)
atau organisasi pengawas larangan ujicoba nuklir berhasil merekamnya,
padahal 5 stasiun diantaranya berjarak lebih dari 10.000 km dari Bone
dan satu diantaranya bahkan sejauh 18.000 km. Bahkan ledakan ini
merupakan yang terbesar sepanjang 15 tahun terakhir.
“The Bone Impactor”
merupakan narasi sebuah asteroid yang melenceng orbitnya kemudian
ditarik oleh gravitasi Bumi dan jatuh ke atmoser di atas Bone.
Asumsi yang digunakan di sini adalah : asteroid berbentuk bulat, tersusun oleh batu (stony), pancake factor bernilai 4, koefisien hambatan udara bernilai 2, atmospheric scale height
bernilai 8 km dan perilaku asteroid sama dengan rata-rata asteroid yang
suka masuk ke atmosfer Bumi pada umumnya, yakni kecepatan awal 20,3
km/detik pada sudut masuk 45 derajat. Seluruh perhitungan dikerjakan
dengan persamaan-persamaan matematis dari Collins dan timnya (2005).
Meteor besar Bone mengawali kisah
spektakulernya sebagai sebuah batu bergaris tengah 9,2 meter dengan
massa 1.240 ton yang melayang di angkasa sebagai asteroid kelompok
Apollo, yakni asteroid dekat Bumi yang obitnya memiliki perihelion (titik terdekat dengan Matahari) kurang dari 167 juta km dan memotong orbit Bumi.
Total ada 71 juta buah asteroid yang ukurannya sama dengan asteroid Bone. Asteroid dekat Bumi umumnya memiliki rasio aphelion perihelion
1,8 dengan kelonjongan orbit (eksentrisitas) rata – rata 0,286. Namun
asteroid yang jatuh ke planet umumnya memiliki eksentrisitas 0,68
sehingga memiliki rasio aphelion perihelion sebesar 5,25.
Rasio yang lebih besar membuatnya lebih
rentan menderita gangguan gravitasi Bumi, Mars atau Jupiter yang
berpotensi membelokkan orbitnya hingga jatuh membentur planet. Karena
itu masa hidup asteroid dekat Bumi di tata surya hanyalah selama 10 –
100 juta tahun atau jauh lebih pendek dibanding masa hidup planet yang
bisa mencapai milyaran tahun. Secara rata-rata asteroid seukuran
asteroid Bone akan jatuh ke Bumi setiap 12 tahun sekali.
Asteroid Bone pun demikian. Kalkulasi kasar menunjukkan aphelion orbit asteroid
ini maksimum 5,25 AU atau melampaui orbit Jupiter sehingga sangat mudah
diganggu gravitasi planet ini, terutama ketika melalui celah Kirkwood (2,5 AU dari Matahari) di Sabuk Asteroid.
Gangguan gravitasi membuatnya jatuh ke
Bumi pada 8 Oktober 2009 pukul 11:25 WITA sebagai meteoroid . Meteoroid
tidak mengalami hambatan berarti ketika mulai menembus atmosfer Bumi
pada kecepatan awal 73.080 km/jam atau 68 kali lebih cepat dibanding
peluru.
Namun mulai ketinggian 65 km, atmosfer
mulai memadat dan menghasilkan tekanan yang menghambat laju asteroid.
Hambatan menghasilkan panas yang membuat asteroid terablasi, dimana
lapisan terluarnya mulai meleleh dan menguap, membentuk selubung plasma
yang menutupi asteroid (coma) dan bentukan ekor yang khas.
Terbentuklah meteor besar dengan
kecemerlangan luar biasa, yang pada puncaknya memiliki magnitude visual
–12,93 atau 1,2 kali lebih terang dari Bulan purnama sehingga bisa
terlihat dengan jelas di siang hari. Karena sebuah meteor yang lebih
terang dibanding planet Venus (magnitude visual –4) maka akan bisa
dilihat dengan jelas di siang hari.
Lapisan udara yang terus memadat begitu
mulai memasuki lapisan stratosfer membuat tekanan yang diderita meteor
besar Bone semakin besar. Sehingga pada ketinggian 37,79 km dan
kecepatan tinggal 400 km/jam, tekanan telah melampaui kekuatan gaya ikat
antar molekul penyusun meteor besar Bone dan hingga terjadilah
pemecahan brutal (break–up) yang memproduksi sejumlah pecahan berukuran besar dan ratusan hingga ribuan pecahan kecil.
Pasca break–up, laju
pecahan–pecahan ini semakin menurun sehingga pada satu titik di
ketinggian 29,78 km terjadilah perlambatan total, yang membuat seluruh
energi kinetik yang dikandung meteor besar Bone terlepaskan dalam waktu
yang sangat sebagai ledakan besar.
Ledakan ini melepaskan energi sebesar 250 Tera Joule
atau setara dengan 60 kiloton TNT, 3 kali lipat lebih dahsyat ketimbang
bom nuklir Hiroshima. Gelombang kejut yang dihasilkannya menghancurkan
seluruh pecahan besar menjadi debu.
Namun gelombang kejut tidak berdampak apapun terhadap permukaan Bumi, karena di titik ground zero sekalipun (yang terletak tepat di bawah lokasi ledakan) gelombang kejut hanya menghasilkan over pressure sebesar 0,7 Pa atau jauh lebih kecil ketimbang limit 6.900 Pa yang menghasilkan dampak minimal berupa bergetarnya kaca jendela.
Sebanyak 0,1 % energi ledakan, yang
setara dengan 250 GigaJoule, terkonversi menjadi energi akustik yang
menyebar ke segala arah sebagai dentuman sonik dan infrasonik dengan
kecepatan 972 – 1.150 km/jam.
Gelombang infrasoniknya menyebar sangat jauh hingga bisa mencapai posisi stasiun–stasiun IMS, yang mengkonfirmasikan ground zero
berada di koordinat 4,5 LS 120 BT. Sementara dentuman sonik mencapai
kota Watampone yang berjarak 40 km dari ground zero sebagai gelegar
suara dalam waktu 150 – 180 detik.
Ketika energi akustik berhasil mencapai
permukaan Bumi maka 0,017 % diantaranya terkonversi menjadi energi
seismik yang menjalar sebagai gelombang Rayleigh.
Seismograf Pusat Gempa Nasional BMKG
merekam gelombang ini sebagai gempa dengan magnitude 1,9 skala Richter
yang setara dengan energi seismik sebesar 44,7 MegaJoule. Episentrum
gempa berada pada posisi episentrum 4,68 LS 120,09 BT atau hanya 22 km
dari ground zero versi IMS.
Pasca ledakan, dengan puncak magnitude
visual lebih besar dari –10 sebagian kecil pecahan meteor terutama yang
massanya dibawah 1 kg akan terus melanjutkan perjalanannya menembus
atmosfer Bumi.
Proses ablasi berhenti beberapa kilometer
di bawah ketinggian titik ledak sehingga pecahan–pecahan kecil ini
berhenti memancarkan cahaya dan mulai menjalani proses pendinginan di
lapisan troposfer hingga mencapai titik retardasi, dimana gravitasi Bumi
mengambil alih sepenuhnya perilaku pecahan, sehingga akan jatuh ke Bumi
sebagai meteorit dengan kecepatan 100 – 200 km/jam.
Lokasi episentrum gempa 1,9 skala Richter (BMKG) dan ground zero hasil pengeplotan stasiun infrasonik dan mikrobarometer (IMS) dalam peristiwa Ledakan Bone.
Lingkaran bergaris kuning pada gamba
dibawah menunjukkan area berjarak 40 km dari episentrum BMKG, tempat
meteori-meteorit dari ledakan Bone kemungkinan masih tersisa, meski
lokasi persisnya harus menunggu data azimuth masuk asteroid terlebih dahulu.
Berkaca pada kejadian jatuhnya asteroid
2008 TC3, puluhan meteorit kecil dengan total massa 60 kg mungkin jatuh
dalam area hingga radius 40 km dari ground zero, meski lokasi persisnya bergantung kepada azimuth awal meteor besar Bone.
Kejadian meledaknya meteor besar Bone
sangat mengejutkan mengingat, selain merupakan ledakan terbesar dalam 15
tahun terakhir sejak peristiwa sejenis pada 1 Februari 1994 di atas
Pulau Marshall (Pasifik Selatan), dimensi meteoroidnya cukup besar namun
ironisnya tidak satupun program pelacak asteroid dekat Bumi seperti
LINEAR, LONEOS, NEAT, Spacewatch maupun Catalina Sky Survey yang bisa
mendeteksinya.
Berbeda dengan asteroid 2008 TC3 yang
bergaris tengah 4 meter dan telah terdeteksi 19 jam sebelum meledak di
atas gurun pasir Sudan pada 7 Oktober 2008 pukul 02:45 GMT. Selain itu
energi ledakan meteor ini hanya sedikit di bawah ambang batas 100
kiloton TNT, dimana statistik menunjukkan 5 % meteor dengan energi
sebesar itu masih menyisakan pecahan berukuran besar (+/- 60 % dari
massa meteoroid) dan jatuh dengan kecepatan tinggi (5–7 km/detik)
sehingga membentuk kawah tumbukan sembari melepaskan ledakan dalam orde
1–10 kiloton TNT.
Ledakan sebesar itu mampu memusnahkan
kehidupan manusia dan merusak wilayah seluas 19 km persegi, sebagaimana
yang dialami salah satu klan suku Nordik di Kaalijarv, pulau Saaremaa
(Estonia), yang musnah 4.000 tahun silam akibat hantaman asteroid yang
melepaskan energi 20 kiloton TNT.
Sementara sistem pertahanan Bumi seperti Space Guard
sangat sulit mengeliminasi meteoroid seukuran ini karena keterbatasan
resolusi pelacak. Berbeda dengan meteoroid berukuran besar, seperti yang
meledak 4 – 5 km di atas hulu sungai Tunguska, Siberia (Russia) dengan
melepaskan energi 20 – 30 megaton TNT pada 30 Juni 1908 silam yang
disebabkan oleh jatuhnya inti komet berdiameter 30 – 40 meter, sistem Space Guard mampu melacaknya jauh hari sebelumnya sehingga menyediakan cukup waktu untuk bertindak preventif. (Ma’rufin Sudibyo)
((( IndoCropCircles.wordpress.com )))
Artikel Terkait
0 komentar:
Posting Komentar