home

Jumat, 05 April 2013

Flashback Lebih Dekat : Meteor Bone Sulawesi 2009 (The Bone Impactor)

komet asteroid meteors comet header

Lebih Dekat Dengan Meteor Bone Sulawesi Selatan pada Tahun 2009 (The Bone Impactor)

Bone adalah nama satu kabupaten di propinsi Sulawesi Selatan, yang pada 8 Oktober 2009 lalu menggemparkan dunia internasional seiring terjadinya ledakan di udara (airblast) yang disebabkan oleh masuknya meteor besar ke dalam atmosfer Bumi.
Demikian besar energi ledakan ini sehingga 11 stasiun mikrobarometer dan infrasonik dalam jejaring IMS (International Monitoring System) di bawah koordinasi CTBTO (Comprehensive Test Ban Treaty Organization) atau organisasi pengawas larangan ujicoba nuklir berhasil merekamnya, padahal 5 stasiun diantaranya berjarak lebih dari 10.000 km dari Bone dan satu diantaranya bahkan sejauh 18.000 km. Bahkan ledakan ini merupakan yang terbesar sepanjang 15 tahun terakhir.
The Bone Impactor” merupakan narasi sebuah asteroid yang melenceng orbitnya kemudian ditarik oleh gravitasi Bumi dan jatuh ke atmoser di atas Bone.
Asumsi yang digunakan di sini adalah : asteroid berbentuk bulat, tersusun oleh batu (stony), pancake factor bernilai 4, koefisien hambatan udara bernilai 2, atmospheric scale height bernilai 8 km dan perilaku asteroid sama dengan rata-rata asteroid yang suka masuk ke atmosfer Bumi pada umumnya, yakni kecepatan awal 20,3 km/detik pada sudut masuk 45 derajat. Seluruh perhitungan dikerjakan dengan persamaan-persamaan matematis dari Collins dan timnya (2005).
Meteor besar Bone mengawali kisah spektakulernya sebagai sebuah batu bergaris tengah 9,2 meter dengan massa 1.240 ton yang melayang di angkasa sebagai asteroid kelompok Apollo, yakni asteroid dekat Bumi yang obitnya memiliki perihelion (titik terdekat dengan Matahari) kurang dari 167 juta km dan memotong orbit Bumi.
Meteor Bone Sulawesi 02
Total ada 71 juta buah asteroid yang ukurannya sama dengan asteroid Bone. Asteroid dekat Bumi umumnya memiliki rasio aphelion perihelion 1,8 dengan kelonjongan orbit (eksentrisitas) rata – rata 0,286. Namun asteroid yang jatuh ke planet umumnya memiliki eksentrisitas 0,68 sehingga memiliki rasio aphelion perihelion sebesar 5,25.
Rasio yang lebih besar membuatnya lebih rentan menderita gangguan gravitasi Bumi, Mars atau Jupiter yang berpotensi membelokkan orbitnya hingga jatuh membentur planet. Karena itu masa hidup asteroid dekat Bumi di tata surya hanyalah selama 10 – 100 juta tahun atau jauh lebih pendek dibanding masa hidup planet yang bisa mencapai milyaran tahun. Secara rata-rata asteroid seukuran asteroid Bone akan jatuh ke Bumi setiap 12 tahun sekali.
Asteroid Bone pun demikian. Kalkulasi kasar menunjukkan aphelion orbit asteroid ini maksimum 5,25 AU atau melampaui orbit Jupiter sehingga sangat mudah diganggu gravitasi planet ini, terutama ketika melalui celah Kirkwood (2,5 AU dari Matahari) di Sabuk Asteroid.
Gangguan gravitasi membuatnya jatuh ke Bumi pada 8 Oktober 2009 pukul 11:25 WITA sebagai meteoroid . Meteoroid tidak mengalami hambatan berarti ketika mulai menembus atmosfer Bumi pada kecepatan awal 73.080 km/jam atau 68 kali lebih cepat dibanding peluru.
Namun mulai ketinggian 65 km, atmosfer mulai memadat dan menghasilkan tekanan yang menghambat laju asteroid. Hambatan menghasilkan panas yang membuat asteroid terablasi, dimana lapisan terluarnya mulai meleleh dan menguap, membentuk selubung plasma yang menutupi asteroid (coma) dan bentukan ekor yang khas.
Terbentuklah meteor besar dengan kecemerlangan luar biasa, yang pada puncaknya memiliki magnitude visual –12,93 atau 1,2 kali lebih terang dari Bulan purnama sehingga bisa terlihat dengan jelas di siang hari. Karena sebuah meteor yang lebih terang dibanding planet Venus (magnitude visual –4) maka akan bisa dilihat dengan jelas di siang hari.
Lapisan udara yang terus memadat begitu mulai memasuki lapisan stratosfer membuat tekanan yang diderita meteor besar Bone semakin besar. Sehingga pada ketinggian 37,79 km dan kecepatan tinggal 400 km/jam, tekanan telah melampaui kekuatan gaya ikat antar molekul penyusun meteor besar Bone dan hingga terjadilah pemecahan brutal (break–up) yang memproduksi sejumlah pecahan berukuran besar dan ratusan hingga ribuan pecahan kecil.
meteor bone sulawesi
Pasca break–up, laju pecahan–pecahan ini semakin menurun sehingga pada satu titik di ketinggian 29,78 km terjadilah perlambatan total, yang membuat seluruh energi kinetik yang dikandung meteor besar Bone terlepaskan dalam waktu yang sangat sebagai ledakan besar.
Ledakan ini melepaskan energi sebesar 250 Tera Joule atau setara dengan 60 kiloton TNT, 3 kali lipat lebih dahsyat ketimbang bom nuklir Hiroshima. Gelombang kejut yang dihasilkannya menghancurkan seluruh pecahan besar menjadi debu.
Namun gelombang kejut tidak berdampak apapun terhadap permukaan Bumi, karena di titik ground zero sekalipun (yang terletak tepat di bawah lokasi ledakan) gelombang kejut hanya menghasilkan over pressure sebesar 0,7 Pa atau jauh lebih kecil ketimbang limit 6.900 Pa yang menghasilkan dampak minimal berupa bergetarnya kaca jendela.
Sebanyak 0,1 % energi ledakan, yang setara dengan 250 GigaJoule, terkonversi menjadi energi akustik yang menyebar ke segala arah sebagai dentuman sonik dan infrasonik dengan kecepatan 972 – 1.150 km/jam.
Gelombang infrasoniknya menyebar sangat jauh hingga bisa mencapai posisi stasiun–stasiun IMS, yang mengkonfirmasikan ground zero berada di koordinat 4,5 LS 120 BT. Sementara dentuman sonik mencapai kota Watampone yang berjarak 40 km dari ground zero sebagai gelegar suara dalam waktu 150 – 180 detik.
Ketika energi akustik berhasil mencapai permukaan Bumi maka 0,017 % diantaranya terkonversi menjadi energi seismik yang menjalar sebagai gelombang Rayleigh.
Seismograf Pusat Gempa Nasional BMKG merekam gelombang ini sebagai gempa dengan magnitude 1,9 skala Richter yang setara dengan energi seismik sebesar 44,7 MegaJoule. Episentrum gempa berada pada posisi episentrum 4,68 LS 120,09 BT atau hanya 22 km dari ground zero versi IMS.
Pasca ledakan, dengan puncak magnitude visual lebih besar dari –10 sebagian kecil pecahan meteor terutama yang massanya dibawah 1 kg akan terus melanjutkan perjalanannya menembus atmosfer Bumi.
Proses ablasi berhenti beberapa kilometer di bawah ketinggian titik ledak sehingga pecahan–pecahan kecil ini berhenti memancarkan cahaya dan mulai menjalani proses pendinginan di lapisan troposfer hingga mencapai titik retardasi, dimana gravitasi Bumi mengambil alih sepenuhnya perilaku pecahan, sehingga akan jatuh ke Bumi sebagai meteorit dengan kecepatan 100 – 200 km/jam.
Lokasi episentrum gempa 1,9 skala Richter (BMKG) dan ground zero hasil pengeplotan stasiun infrasonik dan mikrobarometer (IMS) dalam peristiwa Ledakan Bone.
Lingkaran bergaris kuning pada gamba dibawah menunjukkan area berjarak 40 km dari episentrum BMKG, tempat meteori-meteorit dari ledakan Bone kemungkinan masih tersisa, meski lokasi persisnya harus menunggu data azimuth masuk asteroid terlebih dahulu.
Berkaca pada kejadian jatuhnya asteroid 2008 TC3, puluhan meteorit kecil dengan total massa 60 kg mungkin jatuh dalam area hingga radius 40 km dari ground zero, meski lokasi persisnya bergantung kepada azimuth awal meteor besar Bone.
Kejadian meledaknya meteor besar Bone sangat mengejutkan mengingat, selain merupakan ledakan terbesar dalam 15 tahun terakhir sejak peristiwa sejenis pada 1 Februari 1994 di atas Pulau Marshall (Pasifik Selatan), dimensi meteoroidnya cukup besar namun ironisnya tidak satupun program pelacak asteroid dekat Bumi seperti LINEAR, LONEOS, NEAT, Spacewatch maupun Catalina Sky Survey yang bisa mendeteksinya.
Meteor Bone Sulawesi 01
Berbeda dengan asteroid 2008 TC3 yang bergaris tengah 4 meter dan telah terdeteksi 19 jam sebelum meledak di atas gurun pasir Sudan pada 7 Oktober 2008 pukul 02:45 GMT. Selain itu energi ledakan meteor ini hanya sedikit di bawah ambang batas 100 kiloton TNT, dimana statistik menunjukkan 5 % meteor dengan energi sebesar itu masih menyisakan pecahan berukuran besar (+/- 60 % dari massa meteoroid) dan jatuh dengan kecepatan tinggi (5–7 km/detik) sehingga membentuk kawah tumbukan sembari melepaskan ledakan dalam orde 1–10 kiloton TNT.
Ledakan sebesar itu mampu memusnahkan kehidupan manusia dan merusak wilayah seluas 19 km persegi, sebagaimana yang dialami salah satu klan suku Nordik di Kaalijarv, pulau Saaremaa (Estonia), yang musnah 4.000 tahun silam akibat hantaman asteroid yang melepaskan energi 20 kiloton TNT.
Sementara sistem pertahanan Bumi seperti Space Guard sangat sulit mengeliminasi meteoroid seukuran ini karena keterbatasan resolusi pelacak. Berbeda dengan meteoroid berukuran besar, seperti yang meledak 4 – 5 km di atas hulu sungai Tunguska, Siberia (Russia) dengan melepaskan energi 20 – 30 megaton TNT pada 30 Juni 1908 silam yang disebabkan oleh jatuhnya inti komet berdiameter 30 – 40 meter, sistem Space Guard mampu melacaknya jauh hari sebelumnya sehingga menyediakan cukup waktu untuk bertindak preventif. (Ma’rufin Sudibyo)

((( IndoCropCircles.wordpress.com )))
Artikel Terkait

0 komentar:

Posting Komentar